Selasa, 23 Maret 2010

Astagfirullah


Menjadi amil, ibarat pejabat publik yang selalu disorot tingkah polahnya. Tuntutan sikap hidup ideal menjadi keharusan. Meski, dalam jiwa manusianya, amil tetaplah bukan makhluk sempurna. Tapi, haluan menuju kesempurnaan itu harus terus diarahkan.
Dalam pandangan saya, amil hamparan medan perjuangan kemanusiaan. Dalam 24 jam waktunya, ia harus siap menolong yang lemah dan membantu yang menderita. Kapan pun kaum dhuafa memerlukan bantuan darurat, amanah zakat itu harus segera tersampaikan. Amat heroik tampaknya, meski pencapaian seideal itu belum lah 100 persen.
Saya menyebut, para amil ini adalah pejuang. Tapi teman saya, tak mau disebut pejuang. Menurutnya, pejuang itu individu yang bekerja untuk masyarakat dan kepentingan umum tanpa pamrih. Sementara amil, mendapatkan imbalan layak dari apa yang telah ia kerjakan.
“Pekerja sosial lebih pasnya kita ini. Bukan pejuang”, tandas teman itu. Saya tertegun, mengunyah kalimat yang menyedak itu.
Akhir pekan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat yang punya profesi sama. Dia sudah tujuh tahun menjadi amil. Dari masa SMA, ia sudah dibantu lembaga tempatnya bekerja, hingga ia dijadikan amil tetap. Tapi, teman ini menumpahkan keluahannya luar biasa hebat. Ia merasa lembaga tidak adil memberikan kesejahteraan. Padahal setahu saya, dulu ia hidup amat sulit dan kini cukup sejahtera dengan mendapat gaji tetap di tempat yang telah banyak membantunya.
Hati saya terasa remuk. Benar kata teman saya di awal, spirit pejuang itu ternyata masih jauh dari nafas keamilan. Bahkan, saya jadi merasa malu mengaku sebagai pejuang kaum dhuafa, jika pada hakekatnya masih berpikir apa yang saya dapat. Sementara, sebuah lembaga zakat tumbuh karena keberadaan mustahik. Dari mereka dan untuk mereka.
Memang tidak semua amil selalu menuntut apa yang ia dapat. Ada pula yang kerja lurus hingga memenuhi kriteria pejuang tadi. Mereka kerja tak kenal lelah, dimana pun derita manusia terdengar, selalu hadir lebih cepat. Mereka bahkan malu menuntut gaji naik, apalagi minta fasilitas mewah lainnya. Karena menyadari keberadaannya sama dengan kaum dhuafa yang dibantunya.
Di akhir kalimat teman saya melecut, “Bedanya tipis dan jelas, amil dapat haknya lebih dahulu, mustahik dapat haknya belakangan”. Astaghfirullah.

Sumber : Mata Dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar